Cari Blog Ini

Sabtu, 06 April 2013

Teknologi Pengendalian Emisi


1.      Teknologi pengendalian emisi sebelum pembakaran
                  Dewasa ini, hampir seluruh mesin pembangkit daya yang digunakan pada kendaraan bermotor menggunakan mesin pembakaran dalam. Mesin bensin dan diesel adalah dua jenis mesin pembakaran dalam yang paling banyak digunakan di dunia. Mesin diesel, yang memiliki efisiensi lebih tinggi, tumbuh pesat di Eropa, sedangkan komunitas USA yang cenderung khawatir pada tingkat polusi sulfur dan UHC pada diesel, lebih memilih mesin bensin. Meski saat ini, mutu solar dan mesin diesel yang digunakan di Eropa sudah semakin baik yang berimplikasi pada rendahnya emisi sulfur dan UHC. Ethanol yang secara teoritik memiliki angka oktan di atas standard maksimal bensin, cocok diterapkan sebagai substitusi sebagian ataupun keseluruhan pada mesin bensin. Terdapat beberapa karakteristik internal ethanol yang menyebabkan penggunaan ethanol pada mesin Otto lebih baik daripada gasolin. Ethanol memiliki angka research octane 108.6 dan motor octane 89.7. Angka tersebut (terutama research octane) melampaui nilai maksimal yang mungkin dicapai oleh gasolin setelah ditambahkan aditif tertentu. Sebagai catatan, bensin yang dijual Pertamina memiliki angka research octane 88. Angka oktan pada bahan bakar mesin Otto menunjukkan kemampuannya menghindari terbakarnya campuran udara-bahan bakar sebelum waktunya (self-ignition). Terbakarnya campuran udara-bahan bakar di dalam mesin Otto sebelum waktunya akan menimbulkan fenomena ketuk (knocking) yang berpotensi menurunkan daya mesin, bahkan bisa menimbulkan kerusakan serius pada komponen mesin. Selama ini, fenomena ketuk membatasi penggunaan rasio kompresi  yang tinggi pada mesin bensin.
                  Tingginya angka oktan pada ethanol memungkinkan penggunaan rasio kompresi yang tinggi pada mesin Otto. Korelasi antara efisiensi dengan rasio kompresi berimplikasi pada fakta bahwa mesin Otto berbahan bakar ethanol memiliki efisiensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan bahan bakar gasoline. Untuk rasio campuran ethanol, gasoline mencapai 60:40%, tercatat peningkatan efisiensi hingga 10%. Ethanol memiliki satu molekul OH dalam susunan molekulnya. Oksigen yang inheren di dalam molekul ethanol tersebut membantu penyempurnaan pembakaran antara campuran udara-bahan bakar di dalam silinder. Ditambah dengan rentang keterbakaran yang lebar, yakni 4.3 - 19 vol% (dibandingkan dengan gasoline yang memiliki rentang keterbakaran 1.4 - 7.6 vol%), pembakaran campuran udara-bahan bakar ethanol menjadi lebih baik, ini dipercaya sebagai faktor penyebab relatif rendahnya emisi CO dibandingkan dengan pembakaran udara-gasolin, yakni sekitar 4%. Ethanol juga memiliki panas penguapan yang tinggi, yakni 842 kJ/kg. Tingginya panas penguapan ini menyebabkan energi yang dipergunakan untuk menguapkan ethanol lebih besar dibandingkan gasolin. Konsekuensi lanjut dari hal tersebut adalah temperatur puncak di dalam silinder akan lebih rendah pada pembakaran ethanol dibandingkan dengan gasolin. Rendahnya emisi NO, yang dalam kondisi atmosfer akan membentuk NO2 yang bersifat racun, dipercaya sebagai akibat relatif rendahnya temperatur puncak pembakaran ethanol di dalam silinder. Pada rasio kompresi 7, penurunan emisi NOx tersebut bisa mencapai 33% dibandingkan terhadap emisi NOx yang dihasilkan pembakaran gasolin pada rasio kompresi yang sama. Dari susunan molekulnya, ethanol memiliki rantai karbon yang lebih pendek dibandingkan gasolin (rumus molekul ethanol adalah C2H5OH, sedangkan gasolin memiliki rantai C6-C12 (dengan perbandingan antara atom H dan C adalah 2:1). Pendeknya rantai atom karbon pada ethanol menyebabkan emisi UHC pada pembakaran ethanol relatif lebih rendah dibandingkan dengan gasolin, yakni berselisih hingga 130 ppm. Ethanol murni akan bereaksi dengan karet dan plastic. Oleh karena itu, ethanol murni hanya bisa digunakan pada mesin yang telah dimodifikasi. Dianjurkan untuk menggunakan karet fluorokarbon sebagai pengganti komponen karet pada mesin Otto konvensional. Selain itu, molekul ethanol yang bersifat polar akan sulit bercampur secara sempurna dengan gasolin yang relatif non-polar, terutama dalam kondisi cair. Oleh karena itu modifikasi perlu dilakukan pada mesin yang menggunakan campuran bahan bakar ethanol-gasolin agar kedua jenis bahan bakar tersebut bisa tercampur secara merata di dalam ruang bakar. Salah satu inovasi pada permasalahan ini adalah pembuatan karburator tambahan khusus untuk ethanol. Pada saat langkah hisap, uap ethanol dan gasolin akan tercampur selama perjalanan dari karburator hingga ruang bakar memberikan tingkat pencampuran yang lebih baik.
2.      Teknologi pengendalian emisi saat pembakaran
                  Beberapa teknologi untuk mengurangi emisi SO2 dan Nox pada waktu pembakaran telah dikembangkan. Salah satu teknologi ialah Lime Injection in Multiple Burners (LIMB). Dengan teknologi ini, emisi SO2 dapat dikurangi sampai 80% dan NOx 50%. Caranya dengan menginjeksikan kapur dalam dapur pembakaran dan suhu pembakaran diturunkan dengan alat pembakar khusus. Kapur akan bereaksi dengan belerang dan membentuk gipsum (kalsium sulfat dihidrat). Penurunan suhu mengakibatkan penurunan pembentukan Nox baik dari nitrogen yang ada dalam bahan bakar maupun dari nitrogen udara. Pemisahan polutan dapat dilakukan menggunakan penyerap batu kapur atau Ca(OH)2. Gas buang dari cerobong dimasukkan ke dalam fasilitas FGD. Ke dalam alat ini kemudian disemprotkan udara sehingga SO2 dalam gas buang teroksidasi oleh oksigen menjadi SO3. Gas buang selanjutnya "didinginkan" dengan air, sehingga SO3 bereaksi dengan air (H2O) membentuk asam sulfat (H2SO4). Asam sulfat selanjutnya direaksikan dengan Ca(OH)2 sehingga diperoleh hasil pemisahan berupa gipsum (gypsum). Gas buang yang keluar dari sistem FGD sudah terbebas dari oksida sulfur. Hasil samping proses FGD disebut gipsum sintetis karena memiliki senyawa kimia yang sama dengan gipsum alam.
                  Selaras dengan kemajuan teknologi otomotif, rancang bangun mesin sudah semestinya diarahkan agar ramah lingkungan. Pasokan bahan bakar injeksi dan terkendali komputer mengoptimalkan kinerja mesin dan meminimalkan gas racun. Sistem Electronic Fuel Injection (EFI bisa menjadi alternatif mengurangi emisi gas beracun. Electronic Fuel Injection menggunakan ECU yang berfungsi mengatur semua sinyal yang nantinya digunakan untuk mengatur besarnya besarnya cmpuran abhanbakar dan udara yang akan diinjeksikan kedalam ruang bakar. Sehingga komposisi campuran yagn terjadi selalu tepat dan hasil sisa pembakaran tidak akan menimbulkan polusi.
3.      Teknologi pengendalian emisi sesudah pembakaran
                  Penambahan peranti Air Intake System (AIS) pada RX-KING dengan penggunaan knalpot yang telah dipasangi tiga katalis di dalamnya. Peranti AIS yang sekilas berupa serupa kran terletak di samping booring dekat karburator. Cara kerja sistem ini berjalan setelah mesin melakukan pembakaran dan menghasilkan asap. Tepat sebelum asap yang mengandung CO mengalir ke knalpot, secara otomotis akan masuk oksigen dari udara bebas melalui sistem AIS itu. Ketika CO bertambah Oksigen dari AIS maka emisi pun dipaksa melalui tiga katalis yang berada dalam knalpot. Peranti tiga katalis yang mengandung lapisan senyawa kimia itu akan mengikat sejumlah partikel dan senyawa beracun buangan mesin dua 
Adanya katalis konverter terdiri atas penyangga dan inti logam aktif yang dipasang pada saluran knalpot, gas buang akan teroksidasi dan tereduksi menjadi emisi ramah lingkungan. Katalis merupakan suatu zat yang mempengaruhi kecepatan reaksi tetapi tidak dikonsumsi dalam reaksi dan tidak mempengaruhi kesetimbangan kimia pada akhir reaksi. Di dunia industri katalis telah digunakan secara luas, terutama pada industri kimia. Akhir-akhir ini katalis juga digunakan untuk menangani masalah polusi udara, termasuk untuk mengurangi emisi gas Hidro Carbon pada kendaraan bermotor motor bensin. Bahan–bahan yang dapat digunakan sebagai katalis adalah menggunakan logam–logam mulia antara lain Platinum, Rhodium dan Palladium. Namun karena jumlahnya terbatas dan harga mahal maka membatasi pemakaiannya. Pada penelitian terdahulu telah dilakukan pengujian dengan menggunakan logam Tembaga ( Cu ) berupa kawat email yang dibentuk menjadi lilitan yang dipasang pada knalpot sepeda motor dua tak. Katalis Cu ini mampu mereduksi emisi gas Carbon Monoksida ( CO ) sampai 5,78 %. Dengan semakin banyaknya jumlah lilitan Cu terdapat kecenderungan penurunan kadar CO. ( Aryanto, Arief, 2000 ). Logam Tembaga dan Kuningan untuk katalis juga telah dipakai pada kendaaran roda empat yang mengasilkan penurunan emisi gas buang Carbon Monoksida cukup signifikan untuk tiap variasi putaran mesin dan variasi jumlah sel katalis. Oleh sebab itu dari hasil penelitian tersebut maka dikembangkan penelitian dengan menggunakan logam Kuningan sebagai katalis untuk mereduksi emisi gas Hidrokarbon yang akan diujikan pada kendaraan bermotor roda empat motor bensin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar