1.
Teknologi pengendalian emisi sebelum pembakaran
Dewasa ini, hampir seluruh
mesin pembangkit daya yang digunakan pada kendaraan bermotor menggunakan mesin
pembakaran dalam. Mesin bensin dan diesel adalah dua jenis mesin pembakaran
dalam yang paling banyak digunakan di dunia. Mesin diesel, yang memiliki efisiensi
lebih tinggi, tumbuh pesat di Eropa, sedangkan komunitas USA yang cenderung
khawatir pada tingkat polusi sulfur dan UHC pada diesel, lebih memilih mesin
bensin. Meski saat ini, mutu solar dan mesin diesel yang digunakan di Eropa
sudah semakin baik yang berimplikasi pada rendahnya emisi sulfur dan UHC.
Ethanol yang secara teoritik memiliki angka oktan di atas standard maksimal
bensin, cocok diterapkan sebagai substitusi sebagian ataupun keseluruhan pada
mesin bensin. Terdapat beberapa karakteristik internal ethanol yang menyebabkan
penggunaan ethanol pada mesin Otto lebih baik daripada gasolin. Ethanol
memiliki angka research octane 108.6 dan motor octane 89.7. Angka tersebut
(terutama research octane) melampaui nilai maksimal yang mungkin dicapai oleh
gasolin setelah ditambahkan aditif tertentu. Sebagai catatan, bensin yang
dijual Pertamina memiliki angka research octane 88. Angka oktan pada bahan
bakar mesin Otto menunjukkan kemampuannya menghindari terbakarnya campuran
udara-bahan bakar sebelum waktunya (self-ignition). Terbakarnya campuran
udara-bahan bakar di dalam mesin Otto sebelum waktunya akan menimbulkan
fenomena ketuk (knocking) yang berpotensi menurunkan daya mesin, bahkan bisa
menimbulkan kerusakan serius pada komponen mesin. Selama ini, fenomena ketuk
membatasi penggunaan rasio kompresi yang
tinggi pada mesin bensin.
Tingginya angka oktan pada
ethanol memungkinkan penggunaan rasio kompresi yang tinggi pada mesin Otto.
Korelasi antara efisiensi dengan rasio kompresi berimplikasi pada fakta bahwa
mesin Otto berbahan bakar ethanol memiliki efisiensi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan bahan bakar gasoline. Untuk rasio campuran ethanol, gasoline
mencapai 60:40%, tercatat peningkatan efisiensi hingga 10%. Ethanol memiliki
satu molekul OH dalam susunan molekulnya. Oksigen yang inheren di dalam molekul
ethanol tersebut membantu penyempurnaan pembakaran antara campuran udara-bahan
bakar di dalam silinder. Ditambah dengan rentang keterbakaran yang lebar, yakni
4.3 - 19 vol% (dibandingkan dengan gasoline yang memiliki rentang keterbakaran
1.4 - 7.6 vol%), pembakaran campuran udara-bahan bakar ethanol menjadi lebih
baik, ini dipercaya sebagai faktor penyebab relatif rendahnya emisi CO
dibandingkan dengan pembakaran udara-gasolin, yakni sekitar 4%. Ethanol juga
memiliki panas penguapan yang tinggi, yakni 842 kJ/kg. Tingginya panas
penguapan ini menyebabkan energi yang dipergunakan untuk menguapkan ethanol
lebih besar dibandingkan gasolin. Konsekuensi lanjut dari hal tersebut adalah
temperatur puncak di dalam silinder akan lebih rendah pada pembakaran ethanol
dibandingkan dengan gasolin. Rendahnya emisi NO, yang dalam kondisi atmosfer
akan membentuk NO2 yang bersifat racun, dipercaya sebagai akibat relatif
rendahnya temperatur puncak pembakaran ethanol di dalam silinder. Pada rasio
kompresi 7, penurunan emisi NOx tersebut bisa mencapai 33% dibandingkan
terhadap emisi NOx yang dihasilkan pembakaran gasolin pada rasio kompresi yang
sama. Dari susunan molekulnya, ethanol memiliki rantai karbon yang lebih pendek
dibandingkan gasolin (rumus molekul ethanol adalah C2H5OH, sedangkan gasolin
memiliki rantai C6-C12 (dengan perbandingan antara atom H dan C adalah 2:1). Pendeknya
rantai atom karbon pada ethanol menyebabkan emisi UHC pada pembakaran ethanol
relatif lebih rendah dibandingkan dengan gasolin, yakni berselisih hingga 130
ppm. Ethanol murni akan bereaksi dengan karet dan plastic. Oleh karena itu,
ethanol murni hanya bisa digunakan pada mesin yang telah dimodifikasi.
Dianjurkan untuk menggunakan karet fluorokarbon sebagai pengganti komponen
karet pada mesin Otto konvensional. Selain itu, molekul ethanol yang bersifat
polar akan sulit bercampur secara sempurna dengan gasolin yang relatif
non-polar, terutama dalam kondisi cair. Oleh karena itu modifikasi perlu
dilakukan pada mesin yang menggunakan campuran bahan bakar ethanol-gasolin agar
kedua jenis bahan bakar tersebut bisa tercampur secara merata di dalam ruang
bakar. Salah satu inovasi pada permasalahan ini adalah pembuatan karburator
tambahan khusus untuk ethanol. Pada saat langkah hisap, uap ethanol dan gasolin
akan tercampur selama perjalanan dari karburator hingga ruang bakar memberikan
tingkat pencampuran yang lebih baik.
2.
Teknologi pengendalian emisi saat pembakaran
Beberapa teknologi untuk mengurangi
emisi SO2 dan Nox pada waktu pembakaran telah dikembangkan. Salah satu
teknologi ialah Lime Injection in Multiple Burners (LIMB). Dengan teknologi
ini, emisi SO2 dapat dikurangi sampai 80% dan NOx 50%. Caranya dengan
menginjeksikan kapur dalam dapur pembakaran dan suhu pembakaran diturunkan
dengan alat pembakar khusus. Kapur akan bereaksi dengan belerang dan membentuk
gipsum (kalsium sulfat dihidrat). Penurunan suhu mengakibatkan penurunan
pembentukan Nox baik dari nitrogen yang ada dalam bahan bakar maupun dari
nitrogen udara. Pemisahan polutan dapat dilakukan menggunakan penyerap batu
kapur atau Ca(OH)2. Gas buang dari cerobong dimasukkan ke dalam fasilitas FGD.
Ke dalam alat ini kemudian disemprotkan udara sehingga SO2 dalam gas buang
teroksidasi oleh oksigen menjadi SO3. Gas buang selanjutnya
"didinginkan" dengan air, sehingga SO3 bereaksi dengan air (H2O)
membentuk asam sulfat (H2SO4). Asam sulfat selanjutnya direaksikan dengan
Ca(OH)2 sehingga diperoleh hasil pemisahan berupa gipsum (gypsum). Gas buang
yang keluar dari sistem FGD sudah terbebas dari oksida sulfur. Hasil samping
proses FGD disebut gipsum sintetis karena memiliki senyawa kimia yang sama
dengan gipsum alam.
Selaras dengan kemajuan
teknologi otomotif, rancang bangun mesin sudah semestinya diarahkan agar ramah
lingkungan. Pasokan bahan bakar injeksi dan terkendali komputer mengoptimalkan
kinerja mesin dan meminimalkan gas racun. Sistem Electronic Fuel Injection (EFI
bisa menjadi alternatif mengurangi emisi gas beracun. Electronic Fuel Injection
menggunakan ECU yang berfungsi mengatur semua sinyal yang nantinya digunakan
untuk mengatur besarnya besarnya cmpuran abhanbakar dan udara yang akan
diinjeksikan kedalam ruang bakar. Sehingga komposisi campuran yagn terjadi
selalu tepat dan hasil sisa pembakaran tidak akan menimbulkan polusi.
3.
Teknologi pengendalian emisi sesudah pembakaran
Penambahan peranti Air Intake
System (AIS) pada RX-KING dengan penggunaan knalpot yang telah dipasangi tiga
katalis di dalamnya. Peranti AIS yang sekilas berupa serupa kran terletak di
samping booring dekat karburator. Cara kerja sistem ini berjalan setelah mesin
melakukan pembakaran dan menghasilkan asap. Tepat sebelum asap yang mengandung
CO mengalir ke knalpot, secara otomotis akan masuk oksigen dari udara bebas
melalui sistem AIS itu. Ketika CO bertambah Oksigen dari AIS maka emisi pun
dipaksa melalui tiga katalis yang berada dalam knalpot. Peranti tiga katalis
yang mengandung lapisan senyawa kimia itu akan mengikat sejumlah partikel dan
senyawa beracun buangan mesin dua
Adanya
katalis konverter terdiri atas penyangga dan inti logam aktif yang dipasang
pada saluran knalpot, gas buang akan teroksidasi dan tereduksi menjadi emisi
ramah lingkungan. Katalis merupakan suatu zat yang mempengaruhi kecepatan
reaksi tetapi tidak dikonsumsi dalam reaksi dan tidak mempengaruhi
kesetimbangan kimia pada akhir reaksi. Di dunia industri katalis telah
digunakan secara luas, terutama pada industri kimia. Akhir-akhir ini katalis
juga digunakan untuk menangani masalah polusi udara, termasuk untuk mengurangi
emisi gas Hidro Carbon pada kendaraan bermotor motor bensin. Bahan–bahan yang
dapat digunakan sebagai katalis adalah menggunakan logam–logam mulia antara
lain Platinum, Rhodium dan Palladium. Namun karena jumlahnya terbatas dan harga
mahal maka membatasi pemakaiannya. Pada penelitian terdahulu telah dilakukan
pengujian dengan menggunakan logam Tembaga ( Cu ) berupa kawat email yang
dibentuk menjadi lilitan yang dipasang pada knalpot sepeda motor dua tak.
Katalis Cu ini mampu mereduksi emisi gas Carbon Monoksida ( CO ) sampai 5,78 %.
Dengan semakin banyaknya jumlah lilitan Cu terdapat kecenderungan penurunan
kadar CO. ( Aryanto, Arief, 2000 ). Logam Tembaga dan Kuningan untuk katalis
juga telah dipakai pada kendaaran roda empat yang mengasilkan penurunan emisi
gas buang Carbon Monoksida cukup signifikan untuk tiap variasi putaran mesin
dan variasi jumlah sel katalis. Oleh sebab itu dari hasil penelitian tersebut
maka dikembangkan penelitian dengan menggunakan logam Kuningan sebagai katalis
untuk mereduksi emisi gas Hidrokarbon yang akan diujikan pada kendaraan
bermotor roda empat motor bensin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar