Sebagai bagian dari Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan
menengah kejuruan merupakan pendidikan pada jenjang pendidikan menengah yang
mengutamakan pengembangan kemampuan peserta didik untuk dapat bekerja dalam
bidang tertentu, kemampuan beradaptasi di lingkungan kerja, melihat peluang
kerja dan mengembangkan diri di kemudian hari. Hal ini sesuai dengan
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003 pasal 15 bahwa “Pendidikan
kejuruan merupakan pendidikan menengah yang mempersiapkan peserta didik
terutama untuk bekerja dalam bidang keahlian tertentu”.
Tingginya angka pengangguran di Indonesia saat ini serta
rendahnya angka siswa melanjutkan ke perguruan tinggi merupakan beberapa
masalah yang harus dipikirkan oleh pengelola sekolah kejuruan. Sehingga salah
satu isu penting saat ini adalah mengembalikan fungsi dan peran sekolah
menengah kejuruan sebagai salah satu solusi menyiapkan lulusan yang memiliki
keterampilan yang dapat diserap bursa kerja maupun dapat melanjutkan ke perguruan
tinggi.
Tulisan ini hanya ingin mengajak para guru sekolah kejuruan
untuk memahami kerangka pembelajaran yang harus dilakukan untuk kebutuhan life
skills. Guru juga perlu pengenalan makna dan teori belajar secara lebih baik
dalam rangka membimbing dan membina siswa agar lebih mandiri dan memiliki
keinginan untuk merekonstruksi dunia belajar ke dunia kerja. Ini sangat penting
karena hingga saat ini pandangan ahli pendidikan tentang sekolah kejuruan masih
mendua, sebagian ahli pendidikan mengatakan bahwa “learning to know is most
important, application can come later” sedangkan pendapat lain mengatakan
“learning to do is most important, knowledge hill somehow seep into the
process.” (Ahmad Baedowi, http://rumahilmuindonesia.net).
Memanfaatkan dan memahami teori konstruktivisme sebagai dasar
proses belajar mengajar di sekolah menengah kejuruan adalah salah satu usaha
untuk memperoleh legitimasi teoritis sekaligus empiris tentang pentingnya
sekolah menengah kejuruan.
Konstruktivisme
Prinsip konstruktivisme adalah inti dari filsafat pendidikan
William James dan John Dewey (John W. Santrock, 2008 : 8). Konstruktivisme
menekankan agar individu secara aktif menyusun dan membangun pengetahuan dan
pemahaman. Konstruktivisme dikembang luas oleh Jean Piaget, ia dikenal sebagai
seorang psikolog yang pada akhirnya lebih tertarik pada filsafat
konstruktivisme dalam proses belajar. Titik sentral teori Jean Piaget adalah
perkembangan fikiran secara alami dari lahir sampai dewasa, menurut Piaget
untuk memahami teori itu kita harus paham tentang asumsi-asumsi biologi maupun
implikasi asumsi-asumsi tersebut dalam mengartikan pengetahuan
(http://pusdiklatdepdiknas.net).
Menurut Piaget seperti yang dikutip Rita L. Atkinson dkk. ( :
145) bahwa anak harus dipandang seperti seorang ilmuwan yang sedang mencari
jawaban yang melakukan eksperimen terhadap dunia untuk melihat apa yang terjadi
(“Seperti apa rasanya menggigit kuping beruang Teddy ini?”, “Apa yang terjadi
jika saya mendorong piring ini keluar dari meja?”).
Selanjutnya masih menurut Rita L. Atkinson ( : 145), hasil dari
eksperimen miniatur itu menyebabkan anak menyusun “teori”, Piaget menyebutnya
skemata (atau tunggal, skema) tentang bagaimana dunia fisik dan sosial
beroperasi. Saat menemukan benda atau peristiwa baru, anak berupaya untuk
memahaminya berdasarkan skema yang telah dimilikinya. Piaget menyebut hal ini
proses asimilasi; upaya anak untuk mengasimilasikan peristiwa baru ke dalam
skema yang telah ada sebelumnya. Jika skema lama tidak adekuat untuk mengakomodasi
peristiwa baru, maka anak seperti layaknya seorang ilmuwan yang baik
memodifikasi skema dan dengan demikian memperluas teori tentang dunia. Piaget
menyebut proses revisi skema ini sebagai akomodasi.
Paradigma konstruktivisme oleh Jean Piaget melandasi timbulnya
strategi kognitif, disebut teori meta cognition. Meta cognition merupakan
keterampilan yang dimiliki oleh siswa-siswa dalam mengatur dan mengontrol
proses berpikirnya, (Preisseisen, 1985: http://pusdiklatdepdiknas.net). Menurut
Preisseisen meta cognition meliputi empat jenis keterampilan, yaitu:
1. Keterampilan Pemecahan
Masalah (problem solving), yaitu keterampilan individu dalam menggunakan proses
berfikirnya untuk memecahkan masalah melalui pengumpulan fakta-fakta, analisis
informasi, menyusun berbagai alternatif pemecahan, dan memilih pemecahan
masalah yang paling efektif.
2. Keterampilan
Pengambilan Keputusan (decisión making), yaitu keterampilan individu dalam
menggunakan proses berfikirnya untuk memilih suatu keputusan yang terbaik dari
beberapa pilihan yang ada melalui pengumpulan informasi, perbandingan kebaikan
dan kekurangan dari setiap alternatif, analisis informasi, dan pengambilan
keputusan yang terbaik berdasarkan alasan-alasan yang rasional.
3. Keterampilan Berfikir
Kritis (critical thinking), yaitu keterampilan individu dalam menggunakan
proses berfikirnya yaitu menganalisa argumen dan memberikan interpretasi
berdasarkan persepsi yang benar dan rasional, analisis asumsi dan bias dari
argumen, dan interpretasi logis.
4. Keterampilan Berfikir
Kreatif (creative thinking), yaitu keterampilan individu dalam menggunakan
proses berfikirnya untuk menghasilkan gagasan yang baru, konstruktif
berdasarkan konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang rasional maupun persepsi,
dan intuisi individu.
Keterampilan-keterampilan
di atas saling terkait antara satu dengan yang lainnya, dan sukar untuk
membedakannya, karena keterampilan-keterampilan tersebut terintegrasi.
Paradigma
konstruktivisme dan teori meta cognition melahirkan prinsip reflection in action
(http://pusdiklatdepdiknas.net). Proses reflection in action merupakan gambaran
tentang proses belajar. Seseorang belajar melalui aktifitas atau pekerjaan
sendiri dan kemudian mengkaji ulang dari pekerjaan yang telah dilakukannya.
Proses pembelajaran strategi kognitif merupakan proses reflection in action.
Berdasarkan teori ini bahwa proses belajar diawali dari pengalaman nyata yang
dialami oleh seseorang. Pengalaman tersebut direfleksi secara individual.
Menurut Brooks &
Brooks, 2001 seperti yang dikutip John W. Santrock (2008 : 8) bahwa dalam
pandangan konstruktivis, guru bukan sekedar memberi informasi ke pikiran anak,
akan tetapi guru harus mendorong anak untuk mengeksplorasi dunia mereka,
menemukan pengetahuan, merenung dan berpikir secara kritis.
Dewasa ini menurut
Gauvain, 2001 seperti yang dikutip John W. Santrock (2008 :8) bahwa
konstruktivisme juga menekankan pada kolaborasi anak-anak saling bekerja sama
untuk mengetahui dan memahami pelajaran.
Pembelajaran Menurut
Teori Belajar Konstruktivisme
Sebagaimana telah
dikemukakan bahwa menurut teori belajar konstruktivisme, pengetahuan tidak
dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa. Artinya,
bahwa siswa harus secara aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya
berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya.
Beberapa pendapat
mengenai pentingnya keterlibatan siswa secara aktif dalam proses pengaitan
sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu melalui lingkungannya seperti yang
diutarakan menurut Hamzah (http://www.sman1sukaraja.com) :
1. Tasker (1992)
mengemukakan tiga penekanan dalam teori belajar konstruktivisme sebagai
berikut. Pertama adalah peran aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan
secara bermakna. Kedua adalah pentingnya membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian
secara bermakna. Ketiga adalah mengaitkan antara gagasan dengan informasi yang
baru diterima.
2. Wheatley (1991)
mendukung pendapat Tasker dengan mengajukan dua prinsip utama dalam
pembelajaran dengan teori belajar konstruktivisme. Pertama, pengetahuan tidak
dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur kognitif siswa.
Kedua, fungsi kognisi bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian melalui
pengalaman nyata yang dimiliki anak.
3. Hudoyo (1990) secara
spesifik mengatakan bahwa seseorang akan lebih mudah mempelajari sesuatu bila
belajar itu didasari kepada apa yang telah diketahui orang lain. Oleh karena
itu, untuk mempelajari suatu materi yang baru, pengalaman belajar yang lalu
dari seseorang akan mempengaruhi terjadinya proses belajar tersebut.
4. Hanbury (1996)
mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitannya dengan pembelajaran, yaitu (1)
siswa mengkonstruksi pengetahuan dengan cara mengintegrasikan ide yang mereka
miliki, (2) pembelajaran menjadi lebih bermakna karena siswa mengerti, (3)
strategi siswa lebih bernilai, dan (4) siswa mempunyai kesempatan untuk
berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan temannya.
5. Tytler (1996)
mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai
berikut: (1) memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya
dengan bahasa sendiri, (2) memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir
tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif, (3)
memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru, (4) memberi
pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa, (5)
mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka, dan (6) menciptakan
lingkungan belajar yang kondusif.
Dari beberapa
pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang mengacu kepada
teori belajar konstruktivisme lebih memfokuskan pada kesuksesan siswa dalam
mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas
apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain, siswa
lebih diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui
asimilasi dan akomodasi.
Konstruktivisme Sosial
Untuk Pengajaran
Pendekatan
konstruktivis sosial menggunakan sejumlah inovasi di dalam pembelajaran di kelas.
Beberapa pendapat mengenai pendekatan konstruktivis sosial seperti yang dikutip
John W. Santrock (2008 : 390)
1. Bearison & Dorsal
(2008) bahwa secara umum pendekatan konstruktivis sosial menekankan pada
konteks sosial dari pembelajaran dan bahwa pengetahuan itu dibangun dan
dikonstruksi secara bersama (mutual).
2. Gauvain (2001)
keterlibatan dengan orang lain membuka kesempatan bagi murid untuk mengevaluasi
dan memperbaiki pemahaman mereka saat mereka bertemu dengan pemikiran orang
lain dan saat mereka berpartisipasi dalam pencarian pemahaman bersama.
3. Jonson & Jonson
(2003) pengalaman dalam konteks sosial memberikan mekanisme penting untuk
perkembangan pemikiran murid.
Teori konstruktivis
sosial Vygotsky menyebutkan bahwa anak berada dalam konteks sosiohistoris.
Vygotsky seperti yang dikutip John W. Santrock (2008 : 390) menekankan bahwa
murid mengkonstruksi pengetahuan melalui interaksi sosial dengan orang lain.
Isi dari pengetahuan ini dipengaruhi oleh kultur dimana murid tinggal, yang
mencakup bahasa, keyakinan, dan keahlian/keterampilan. Selanjutnya dalam
pendekatan konstruktivis Piaget menurut John W. Santrock (2008 : 390), murid
mengkonstruksi pengetahuan dengan mentrans-formasikan, mengorganisasikan, dan
mereorganisasikan pengetahuan dan informasi sebelumnya.
Piaget menekankan
bahwa guru seharusnya memberi dukungan bagi murid untuk mengeksplorasi dan
mengembangkan pemahaman. Vygotsky menekankan bahwa guru harus menciptakan
banyak kesempatan bagi murid untuk belajar dengan guru dan teman sebaya dalam
mengkonstruksi pengetahuan bersama. Dalam model Piaget dan Vygotsky , guru
berfungsi sebagai fasilitator dan membimbing ketimbang sebagi pengatur dan
pembentuk pembelajaran anak.
IMPLEMENTASI
KONSTRUKTIVISME PADA SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN
Proses pembelajaran akan lebih bermakna jika pada akhir proses
pembelajaran dapat secara langsung memotivasi siswa untuk memahami sekaligus
membangun arti baru. Untuk itu guru dalam pendekatan konstruktivisme harus
berfungsi sebagai fasilitator aktif, terutama dalam memandu siswa untuk
mempertanyakan asumsi mereka serta melatih siswa dalam merekonstruksi makna
baru dari sebuah pengetahuan.
Guru konstruktivis lebih tertarik untuk membongkar sebuah makna
daripada menentukan suatu materi. Dengan demikian peran guru dalam pembelajaran
konstruktivisme adalah menyediakan pengalaman belajar bagi siswa, memberikan
kegiatan yang merangsang keingintahuan siswa, menyediakan sarana yang
merangsang siswa berpikir secara produktif, serta memonitor dan mengevaluasi
hasil belajar siswa.
Pendekatan konstruktivisme untuk sekolah kejuruan sangatlah
penting karena siswa belajar dalam lingkungan dan tempat kerja. Praktik kerja
dalam sekolah kejuruan memang berisiko tinggi, tetapi jika guru bertindak benar
baik sebagai fasilitator maupun pemandu, guru dapat membantu siswa dalam
belajar merekonstruksi pikiran mereka melalui sebuah keadaan secara
bersama-sama.
Aktivitas adalah salah satu faktor dalam konstruksi pengetahuan,
dan keikutsertaan siswa dalam seluruh aktivitas dan interaksi pembelajaran
setiap hari merupakan kekuatan untuk mengakses informasi dan keterampilan yang
lebih tinggi. Bertambahnya pengalaman secara rutin dan langsung dalam melakukan
suatu pekerjaan akan memberikan siswa kemampuan untuk memecahkan masalah secara
efektif, reflektif dan berkesinambungan.
Pada sekolah kejuruan, ada beberapa program yang dapat dilakukan
sebagai penerapan pendekatan pemelajaran konstruktivisme ini. Diantaranya
adalah program Pendidikan Sistem Ganda (PSG) dan Teaching Factory (TF).
1. Pendidikan Sistem
Ganda (PSG)
PSG pada dasarnya merupakan suatu bentuk penyelenggaraan
pendidikan keahlian profesional yang memadukan secara sistematik dan sinkron
program pendidikan di sekolah dan program penguasaan keahlian yang diperoleh
melalui kegiatan bekerja langsung di dunia kerja, terarah untuk mencapai suatu
tingkat keahlian profesional tertentu. PSG merupakan suatu strategi yang
mendekatkan peserta didik ke dunia kerja dan ini adalah strategi proaktif yang
menuntut perubahan sikap dan pola pikir siswa.
2. Teaching Factory
(TF)
Teaching Factory (TF) adalah suatu konsep pembelajaran dalam
suasana sesungguhnya, sehingga dapat menjembatani kesenjangan kompetensi antara
kebutuhan industri dan pengetahuan di sekolah. Proses pendekatan pembelajaran
dengan TF adalah perpaduan antara pendekatan pembelajaran CBT (competency based
training) dan PBT (production based training). CBT memberikan penekanan pada
apa yang dapat dilakukan siswa dari hasil belajar yang sudah diperoleh baik
pemahaman pengetahuan maupun keterampilan. PBT adalah suatu proses pembelajaran
keahlian atau keterampilan yang dirancang dan dilaksanakan berdasarkan prosedur
dan stándar kerja yang sesungguhnya (real job) untuk menghasilkan barang dan
jasa sesuai dengan tuntutan pasar atau consumen.
Pada kedua macam pendekatan
pembelajaran tersebut, siswa diberikan kesempatan untuk mendapatkan pengalaman
belajar langsung (magang). Secara tidak langsung siswa akan melalui tahap-tahap
skema asimilasi dan akomodasi dari pemahaman pengetahuan yang didapatkan di
sekolah dengan penerapannya di dunia usaha atau dunia industri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar