Cari Blog Ini

Rabu, 10 April 2013

Strategi/Pendekatan Konstruktivisme pada Pendidikan Teknologi Kejuruan

Sebagai bagian dari Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan menengah kejuruan merupakan pendidikan pada jenjang pendidikan menengah yang mengutamakan pengembangan kemampuan peserta didik untuk dapat bekerja dalam bidang tertentu, kemampuan beradaptasi di lingkungan kerja, melihat peluang kerja dan mengembangkan diri di kemudian hari. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003 pasal 15 bahwa “Pendidikan kejuruan merupakan pendidikan menengah yang mempersiapkan peserta didik terutama untuk bekerja dalam bidang keahlian tertentu”.
Tingginya angka pengangguran di Indonesia saat ini serta rendahnya angka siswa melanjutkan ke perguruan tinggi merupakan beberapa masalah yang harus dipikirkan oleh pengelola sekolah kejuruan. Sehingga salah satu isu penting saat ini adalah mengembalikan fungsi dan peran sekolah menengah kejuruan sebagai salah satu solusi menyiapkan lulusan yang memiliki keterampilan yang dapat diserap bursa kerja maupun dapat melanjutkan ke perguruan tinggi.
Tulisan ini hanya ingin mengajak para guru sekolah kejuruan untuk memahami kerangka pembelajaran yang harus dilakukan untuk kebutuhan life skills. Guru juga perlu pengenalan makna dan teori belajar secara lebih baik dalam rangka membimbing dan membina siswa agar lebih mandiri dan memiliki keinginan untuk merekonstruksi dunia belajar ke dunia kerja. Ini sangat penting karena hingga saat ini pandangan ahli pendidikan tentang sekolah kejuruan masih mendua, sebagian ahli pendidikan mengatakan bahwa “learning to know is most important, application can come later” sedangkan pendapat lain mengatakan “learning to do is most important, knowledge hill somehow seep into the process.” (Ahmad Baedowi, http://rumahilmuindonesia.net).
Memanfaatkan dan memahami teori konstruktivisme sebagai dasar proses belajar mengajar di sekolah menengah kejuruan adalah salah satu usaha untuk memperoleh legitimasi teoritis sekaligus empiris tentang pentingnya sekolah menengah kejuruan.

Konstruktivisme 
Prinsip konstruktivisme adalah inti dari filsafat pendidikan William James dan John Dewey (John W. Santrock, 2008 : 8). Konstruktivisme menekankan agar individu secara aktif menyusun dan membangun pengetahuan dan pemahaman. Konstruktivisme dikembang luas oleh Jean Piaget, ia dikenal sebagai seorang psikolog yang pada akhirnya lebih tertarik pada filsafat konstruktivisme dalam proses belajar. Titik sentral teori Jean Piaget adalah perkembangan fikiran secara alami dari lahir sampai dewasa, menurut Piaget untuk memahami teori itu kita harus paham tentang asumsi-asumsi biologi maupun implikasi asumsi-asumsi tersebut dalam mengartikan pengetahuan (http://pusdiklatdepdiknas.net).
Menurut Piaget seperti yang dikutip Rita L. Atkinson dkk. ( : 145) bahwa anak harus dipandang seperti seorang ilmuwan yang sedang mencari jawaban yang melakukan eksperimen terhadap dunia untuk melihat apa yang terjadi (“Seperti apa rasanya menggigit kuping beruang Teddy ini?”, “Apa yang terjadi jika saya mendorong piring ini keluar dari meja?”).
Selanjutnya masih menurut Rita L. Atkinson ( : 145), hasil dari eksperimen miniatur itu menyebabkan anak menyusun “teori”, Piaget menyebutnya skemata (atau tunggal, skema) tentang bagaimana dunia fisik dan sosial beroperasi. Saat menemukan benda atau peristiwa baru, anak berupaya untuk memahaminya berdasarkan skema yang telah dimilikinya. Piaget menyebut hal ini proses asimilasi; upaya anak untuk mengasimilasikan peristiwa baru ke dalam skema yang telah ada sebelumnya. Jika skema lama tidak adekuat untuk mengakomodasi peristiwa baru, maka anak seperti layaknya seorang ilmuwan yang baik memodifikasi skema dan dengan demikian memperluas teori tentang dunia. Piaget menyebut proses revisi skema ini sebagai akomodasi.
Paradigma konstruktivisme oleh Jean Piaget melandasi timbulnya strategi kognitif, disebut teori meta cognition. Meta cognition merupakan keterampilan yang dimiliki oleh siswa-siswa dalam mengatur dan mengontrol proses berpikirnya, (Preisseisen, 1985: http://pusdiklatdepdiknas.net). Menurut Preisseisen meta cognition meliputi empat jenis keterampilan, yaitu:
1.    Keterampilan Pemecahan Masalah (problem solving), yaitu keterampilan individu dalam menggunakan proses berfikirnya untuk memecahkan masalah melalui pengumpulan fakta-fakta, analisis informasi, menyusun berbagai alternatif pemecahan, dan memilih pemecahan masalah yang paling efektif.
2.    Keterampilan Pengambilan Keputusan (decisión making), yaitu keterampilan individu dalam menggunakan proses berfikirnya untuk memilih suatu keputusan yang terbaik dari beberapa pilihan yang ada melalui pengumpulan informasi, perbandingan kebaikan dan kekurangan dari setiap alternatif, analisis informasi, dan pengambilan keputusan yang terbaik berdasarkan alasan-alasan yang rasional.
3.    Keterampilan Berfikir Kritis (critical thinking), yaitu keterampilan individu dalam menggunakan proses berfikirnya yaitu menganalisa argumen dan memberikan interpretasi berdasarkan persepsi yang benar dan rasional, analisis asumsi dan bias dari argumen, dan interpretasi logis.
4.    Keterampilan Berfikir Kreatif (creative thinking), yaitu keterampilan individu dalam menggunakan proses berfikirnya untuk menghasilkan gagasan yang baru, konstruktif berdasarkan konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang rasional maupun persepsi, dan intuisi individu.
Keterampilan-keterampilan di atas saling terkait antara satu dengan yang lainnya, dan sukar untuk membedakannya, karena keterampilan-keterampilan tersebut terintegrasi.
Paradigma konstruktivisme dan teori meta cognition melahirkan prinsip reflection in action (http://pusdiklatdepdiknas.net). Proses reflection in action merupakan gambaran tentang proses belajar. Seseorang belajar melalui aktifitas atau pekerjaan sendiri dan kemudian mengkaji ulang dari pekerjaan yang telah dilakukannya. Proses pembelajaran strategi kognitif merupakan proses reflection in action. Berdasarkan teori ini bahwa proses belajar diawali dari pengalaman nyata yang dialami oleh seseorang. Pengalaman tersebut direfleksi secara individual.
Menurut Brooks & Brooks, 2001 seperti yang dikutip John W. Santrock (2008 : 8) bahwa dalam pandangan konstruktivis, guru bukan sekedar memberi informasi ke pikiran anak, akan tetapi guru harus mendorong anak untuk mengeksplorasi dunia mereka, menemukan pengetahuan, merenung dan berpikir secara kritis.
Dewasa ini menurut Gauvain, 2001 seperti yang dikutip John W. Santrock (2008 :8) bahwa konstruktivisme juga menekankan pada kolaborasi anak-anak saling bekerja sama untuk mengetahui dan memahami pelajaran.

Pembelajaran Menurut Teori Belajar Konstruktivisme
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa menurut teori belajar konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa. Artinya, bahwa siswa harus secara aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya.
Beberapa pendapat mengenai pentingnya keterlibatan siswa secara aktif dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu melalui lingkungannya seperti yang diutarakan menurut Hamzah (http://www.sman1sukaraja.com) :
1.    Tasker (1992) mengemukakan tiga penekanan dalam teori belajar konstruktivisme sebagai berikut. Pertama adalah peran aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna. Kedua adalah pentingnya membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian secara bermakna. Ketiga adalah mengaitkan antara gagasan dengan informasi yang baru diterima.
2.    Wheatley (1991) mendukung pendapat Tasker dengan mengajukan dua prinsip utama dalam pembelajaran dengan teori belajar konstruktivisme. Pertama, pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur kognitif siswa. Kedua, fungsi kognisi bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang dimiliki anak.
3.    Hudoyo (1990) secara spesifik mengatakan bahwa seseorang akan lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar itu didasari kepada apa yang telah diketahui orang lain. Oleh karena itu, untuk mempelajari suatu materi yang baru, pengalaman belajar yang lalu dari seseorang akan mempengaruhi terjadinya proses belajar tersebut.
4.    Hanbury (1996) mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitannya dengan pembelajaran, yaitu (1) siswa mengkonstruksi pengetahuan dengan cara mengintegrasikan ide yang mereka miliki, (2) pembelajaran menjadi lebih bermakna karena siswa mengerti, (3) strategi siswa lebih bernilai, dan (4) siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan temannya.
5.    Tytler (1996) mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai berikut: (1) memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri, (2) memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif, (3) memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru, (4) memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa, (5) mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka, dan (6) menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.
Dari beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang mengacu kepada teori belajar konstruktivisme lebih memfokuskan pada kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain, siswa lebih diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi.

Konstruktivisme Sosial Untuk Pengajaran
Pendekatan konstruktivis sosial menggunakan sejumlah inovasi di dalam pembelajaran di kelas. Beberapa pendapat mengenai pendekatan konstruktivis sosial seperti yang dikutip John W. Santrock (2008 : 390)
1.    Bearison & Dorsal (2008) bahwa secara umum pendekatan konstruktivis sosial menekankan pada konteks sosial dari pembelajaran dan bahwa pengetahuan itu dibangun dan dikonstruksi secara bersama (mutual).
2.    Gauvain (2001) keterlibatan dengan orang lain membuka kesempatan bagi murid untuk mengevaluasi dan memperbaiki pemahaman mereka saat mereka bertemu dengan pemikiran orang lain dan saat mereka berpartisipasi dalam pencarian pemahaman bersama.
3.    Jonson & Jonson (2003) pengalaman dalam konteks sosial memberikan mekanisme penting untuk perkembangan pemikiran murid.
Teori konstruktivis sosial Vygotsky menyebutkan bahwa anak berada dalam konteks sosiohistoris. Vygotsky seperti yang dikutip John W. Santrock (2008 : 390) menekankan bahwa murid mengkonstruksi pengetahuan melalui interaksi sosial dengan orang lain. Isi dari pengetahuan ini dipengaruhi oleh kultur dimana murid tinggal, yang mencakup bahasa, keyakinan, dan keahlian/keterampilan. Selanjutnya dalam pendekatan konstruktivis Piaget menurut John W. Santrock (2008 : 390), murid mengkonstruksi pengetahuan dengan mentrans-formasikan, mengorganisasikan, dan mereorganisasikan pengetahuan dan informasi sebelumnya.
Piaget menekankan bahwa guru seharusnya memberi dukungan bagi murid untuk mengeksplorasi dan mengembangkan pemahaman. Vygotsky menekankan bahwa guru harus menciptakan banyak kesempatan bagi murid untuk belajar dengan guru dan teman sebaya dalam mengkonstruksi pengetahuan bersama. Dalam model Piaget dan Vygotsky , guru berfungsi sebagai fasilitator dan membimbing ketimbang sebagi pengatur dan pembentuk pembelajaran anak.

IMPLEMENTASI KONSTRUKTIVISME PADA SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN
Proses pembelajaran akan lebih bermakna jika pada akhir proses pembelajaran dapat secara langsung memotivasi siswa untuk memahami sekaligus membangun arti baru. Untuk itu guru dalam pendekatan konstruktivisme harus berfungsi sebagai fasilitator aktif, terutama dalam memandu siswa untuk mempertanyakan asumsi mereka serta melatih siswa dalam merekonstruksi makna baru dari sebuah pengetahuan.
Guru konstruktivis lebih tertarik untuk membongkar sebuah makna daripada menentukan suatu materi. Dengan demikian peran guru dalam pembelajaran konstruktivisme adalah menyediakan pengalaman belajar bagi siswa, memberikan kegiatan yang merangsang keingintahuan siswa, menyediakan sarana yang merangsang siswa berpikir secara produktif, serta memonitor dan mengevaluasi hasil belajar siswa.
Pendekatan konstruktivisme untuk sekolah kejuruan sangatlah penting karena siswa belajar dalam lingkungan dan tempat kerja. Praktik kerja dalam sekolah kejuruan memang berisiko tinggi, tetapi jika guru bertindak benar baik sebagai fasilitator maupun pemandu, guru dapat membantu siswa dalam belajar merekonstruksi pikiran mereka melalui sebuah keadaan secara bersama-sama.
Aktivitas adalah salah satu faktor dalam konstruksi pengetahuan, dan keikutsertaan siswa dalam seluruh aktivitas dan interaksi pembelajaran setiap hari merupakan kekuatan untuk mengakses informasi dan keterampilan yang lebih tinggi. Bertambahnya pengalaman secara rutin dan langsung dalam melakukan suatu pekerjaan akan memberikan siswa kemampuan untuk memecahkan masalah secara efektif, reflektif dan berkesinambungan.
Pada sekolah kejuruan, ada beberapa program yang dapat dilakukan sebagai penerapan pendekatan pemelajaran konstruktivisme ini. Diantaranya adalah program Pendidikan Sistem Ganda (PSG) dan Teaching Factory (TF).

1. Pendidikan Sistem Ganda (PSG)
PSG pada dasarnya merupakan suatu bentuk penyelenggaraan pendidikan keahlian profesional yang memadukan secara sistematik dan sinkron program pendidikan di sekolah dan program penguasaan keahlian yang diperoleh melalui kegiatan bekerja langsung di dunia kerja, terarah untuk mencapai suatu tingkat keahlian profesional tertentu. PSG merupakan suatu strategi yang mendekatkan peserta didik ke dunia kerja dan ini adalah strategi proaktif yang menuntut perubahan sikap dan pola pikir siswa.
2. Teaching Factory (TF)
Teaching Factory (TF) adalah suatu konsep pembelajaran dalam suasana sesungguhnya, sehingga dapat menjembatani kesenjangan kompetensi antara kebutuhan industri dan pengetahuan di sekolah. Proses pendekatan pembelajaran dengan TF adalah perpaduan antara pendekatan pembelajaran CBT (competency based training) dan PBT (production based training). CBT memberikan penekanan pada apa yang dapat dilakukan siswa dari hasil belajar yang sudah diperoleh baik pemahaman pengetahuan maupun keterampilan. PBT adalah suatu proses pembelajaran keahlian atau keterampilan yang dirancang dan dilaksanakan berdasarkan prosedur dan stándar kerja yang sesungguhnya (real job) untuk menghasilkan barang dan jasa sesuai dengan tuntutan pasar atau consumen.
Pada kedua macam pendekatan pembelajaran tersebut, siswa diberikan kesempatan untuk mendapatkan pengalaman belajar langsung (magang). Secara tidak langsung siswa akan melalui tahap-tahap skema asimilasi dan akomodasi dari pemahaman pengetahuan yang didapatkan di sekolah dengan penerapannya di dunia usaha atau dunia industri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar